BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Alloh SWT mewahyukan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW, bukan sekedar sebagai
inisiasi kerasulan, apalagi suvenir atau nomenklatur. Secara praksis, Al-Qur’an
bagi Nabi Muhammad SAW, merupakan inspirasi etik pembebasan yang menyinari
kesadaran dan gerakan sosial dalam membangun masyarakat yang sejahtera, adil
dan manusiawi.
Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus
petunjuk untuk umat manusia kapan dan dimanapun, memiliki berbagai macam
keistemewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang indah
dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa
pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan
berbeda-beda akibat berbagai faktor.
Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan
atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh
pemilik redaksi tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman
penafsiran.
Sejak kedatangan islam pada abad ke 13 M. hingga saat ini, fenomena
pemahaman ke-Islaman ummat Islam Indonesia masih amat variatif.
Selanjutnya terlihat ada orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang
keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin ilmu ke-Islaman
lainnya, bahkan pengetahuan yang bukan merupakan keahliannya itu dianggap
sebagai ilmu yang kelasnya berada di bawah kelas yang dipelajarinya. Misalnya
ilmu Fiqh, pernah menjadi primadona dan mendapat perhatian besar.
Akibat dari keadaan demikian, maka segala masalah yang ditanyakan
kepadanya selalu dilihat dari paradigma ilmu fiqh. Selanjutnya muncul corak
Ilmu Kalam atau Teologi, teologi yang dipelajaripun hanya berpusat pada paham
Asy’ariyah dan Maturidiyah, sehingga paham lain dianggap sesat. Kemudian muncul
paham ke-Islaman yang bercorak tasawwuf, yang mengedepankan urusan akhirat, dan
terkesan meninggalkan urusan duniawai. Pemahaman Islam yang seperti ini
memberikan kesan bahwa pemahaman masyarakat masih parsial dan belum utuh,
sebagai akibat dari proses pengajaran Islam yang belum tersusun sistematik dan
belum disampaikan menurut prinsip, pendekatan dan metode yang direncanakan
dengan baik. Disinilah pentingnya diperlukan metode yang dapat menghasilkan
pemahaman Islam yang utuh.
B. Rumusan Masalah
- Apa saja metode yang di gunakan dalam penafsiran ?
- Bagaimana mengguakan metode penafsiran yang efektif ?
C. Batasan
Masalah.
Metodologi
dalam Islam terdapat banyak metodologi, diantaranya : Metodologi Ulumul Tafsir, Metodologi Ulumul Hadits, Metodologi Tasawwuf,
Metodologi Teologi (Kalam), Metodologi Sejarah, Metodologi Filsafat, Metodologi
Kajian Fiqh, Metodologi Muqaranah Mazhab, Metodologi Pemikiran Modern,
Metodologi Pendidikan Islam, Metodologi Tekstualitas dan Kontekstualitas.
Sedang dalam
makalah ini akan lebih jauh dipaparkan terkait perihal tentang Metodologi
Ulumul Tafsir.
D. Identifikasi
Masalah
Sejak kedatangan Islam pada abad ke 13 M. hingga saat
ini, fenomena pemahaman ke-Islaman ummat Islam Indonesia masih amat variatif.
Selanjutnya terlihat ada orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang
keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin ilmu ke-Islaman
lainnya, bahkan pengetahuan yang bukan merupakan keahliannya itu dianggap sebagai
ilmu yang kelasnya berada dibawah kelas yang dipelajarinya.
Misalnya ilmu Fiqh, pernah menjadi primadona
dan mendapat perhatian besar. Akibat dari keadaan demikian, maka segala masalah
yang ditanyakan kepadanya selalu dilihat dari paradigma ilmu fiqh.
Selanjutnya muncul corak Ilmu Kalam atau Teologi,
teologi yang dipelajaripun hanya berpusat pada paham Asy’ariyah dan
Maturidiyah, sehingga paham lain dianggap sesat. Kemudian muncul paham
ke-Islaman yang bercorak tasawwuf, yang mengedepankan urusan akhirat, dan
terkesan meninggalkan urusan duniawai.
Pemahaman Islam yang seperti ini memberikan kesan
bahwa pemahaman masyarakat masih parsial dan belum utuh, sebagai akibat dari
proses pengajaran Islam yang belum tersusun sistematik dan belum disampaikan
menurut prinsip, pendekatan dan metode yang direncanakan dengan baik. Disinilah
pentingnya diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh.
E. Tujuan
Penulisan
- Memahami cara atau metode penafsiran.
- Dapat mengetahui maksud dari ayat yang ditafsirkan.
- Lebih jauh mengkaji dan memahami kajian Islam yang Berdasarkan Al-Qur’an.
F. Manfaat
Mampu memahami cara atau
metode penafsiran secara Islami yang baik dan benar, serta dapat mengetahui
maksud dari ayat yang ditafsirkan. Berbagai metode dapat dipakai untuk memahami
ajaran Islam. Diantara metode-metode tersebut adalah: Metodologi Ulumul Tafsir,
Ulumul Hadits, Tasawwuf, Teologi (Kalam), Sejarah, Filsafat, Kajian Fiqh,
Muqaranah Mazhab, Pemikiran Modern, Pendidikan Islam dan Metodologi
Tekstualitas dan Kontekstualitas.
Dengan adanya beberapa
metode ini diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan
perbaikan secara intern dan ekstern. Secara intern, komunitas diharapkan dapat
mempertemukan dan mencari jalan keluar dari konflik intra agama Islam.
Pemahaman Islam yang
memberikan kesan bahwa pemahaman masyarakat masih parsial dan belum utuh,
sebagai akibat dari proses pengajaran Islam yang belum tersusun sistematik dan
belum disampaikan menurut prinsip, pendekatan dan metode yang direncanakan
dengan baik. Disinilah pentingnya diperlukan metode yang dapat menghasilkan
pemahaman Islam yang utuh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Metodologi Tafsir
Istilah metodologi tafsir terdiri atas dua terms, yaitu metodologi dan
tafsir. Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodohos yang
berarti cara atau jalan. Dalam bahasa inggris disebut method, sedang
bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj.
Sedangkan kata logos berarti ilmu pengetahuan. Sehingga pembentukan
dari kata-kata tersebut berarti ilmu tentang tata cara yang dipakai untuk
mencapai tujuan (ilmu pengetahuan).
Adapun Term
tafsir, mempunyai dua pengertian, yaitu:
- Pertama, tafsir adalah pengetahuan atau ilmu yang berkenaan (berhubungan) dengan kandungan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang dipergunakan untuk memperolehnya.
- Kedua, tafsir diartikan sebagai cara kerja ilmiah untuk mengeluarkan pengertian-pengertian, hukum-hukum, dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Maka isitilah metodologi tafsir berarti kerangka, kaidah, atau cara yang
dipakai dalam menafsirkan Al-Qur’an baik itu ditinjau dari aspek sistematika
penyusunannya, aspek sumber-sumber penafsiran yang dipakai maupun aspek sistem
pemaparan atau keluasan tafsirannya guna mencapai pemahaman yang benar tentang
apa yang dimaksudkan Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Metodologi tafsir berbeda-beda dilihat dari aspek yang
mendasarinya. Jika ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya,
metodologi tafsir terbagi menjadi dua, yaitu:
·
Sistematika tartib mushafiy, yaitu
sistematika penyusunan tafsir al-Qur’an sesuai dengan tertib susunan surat dan ayat dalam
mushaf.
·
Sistematika tartib nuzuliy,
yaitu sistematika penyusunan yang disesuaikan dengan kronologis turunnya
surat-surat Al-Qur’an. Dan yang ketiga, sistematika maudhuiy, yaitu sistematika
penyusunan penyusunan Al-Qur’an dengan berdasarkan tema atau topik permasalahan
yang akan dibahas.
B. Jenis
atau Macam Penafsiran
Sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, ada dua bentuk penafsiran yang
dipakai (diterapkan) oleh ulama’ yaitu al-ma’tsur (riwayat)
dan al-ra’y (pemikiran).
a. Bentuk
Riwayat (Al-Ma’tsur)
Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan tafsir
bi al-ma’tsur adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah
kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang
masih terpakai dan dapat di jumpai dalam kitab-kitab tafsir semisal Tafsir
at-Thabari, Tafsir ibn Katsir dan lain-lain.
Dalam tradisi studi Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting di
dalam pemahaman teks Al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad SAW diyakini sebagai
penafsir pertama terhadap Al-Qur’an. Dalam konteks ini, muncul istilah metode
tafsir riwayat.
Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik Al-Qur’an klasik,
merupakan suatu proses penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan data riwayat dari
Nabi Muhammad SAW, atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses
penafsiran ayat Al-Qur’an. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu
ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat.
Para ulama sendiri tidak ada kesepakatan
tentang batasan metode tafsir riwayat. Sebagai contoh Al-Zarqani, ia membatasi
dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang diberikan oleh ayat Al-Qur’an, Sunnah
Nabi, dan para sahabat.
Ulama lain, seperti Adz-Dzahabi, memasukkan tafsir tabi’in dalam kerangka
tafsir riwayat, meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung dari Nabi
Muhammad SAW. Akan tetapi, dalam kenyataanya kitab-kitab tafsir yang selama ini
diklaim sebagai tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran
mereka, seperti Tafsir Al-Thabari.
Sedang As-Shabuni memberikan pengertian lain tentang tafsir riwayat.
Menurutnya tafsir riwayat adalah model tafsir yang bersumber dari Al-Qur’an,
As-Sunnah dan perkataan sahabat. Definisi ini nampaknya lebih terfokus pada
material tafsir dan bukan pada metodenya.
Ulama’ Syi’ah berpandangan bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang
dikutib dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt. Hal-hal yang dikutib dari
para sahabat dan tabi’in, menurut mereka tidak dianggap sebagai hujjah.
Dari segi material, menafsirkan Al-Qur’an memang bisa dilakukan dengan
menafsirkan antar ayat, ayat dengan hadits Nabi, dan atau perkataan sahabat.
Namun secara metodologis bila kita menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat
lain dan atau dengan hadits, tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber
dari penafsiran yang dilakukan nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan hasil
intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat
dan atau hadits Nabi dalam menafsirkan Al-Qur’an, tentu ini secara metodologis
tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat.
Jadi, terlepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para
ulama ilmu tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode riwayat di sini bisa
didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya mengacu pada
hasil penafsiran Nabi Muhammad SAW yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi
dan atau dalam bentuk asbab al-nuzul sebagai satu-satunya sember data.
Sebagai salah satu metode, model metode riwayat dalam pengertian yang terakhir
ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat penafsiran Nabi.
Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai asbab al-nuzul.
b. Bentuk
Pemikiran (Al-Ra’y)
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 Hijriah dan peradaban Islam
semakin maju dan berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran dikalangan
umat. Masing-masing golongan berusaha menyakinkan pengikutnya dalam
mengembangkan paham mereka.
Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits-Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka
anut. Inilah masa dimana berkembangnya bentuk penafsiran al-ra’y atau
bentuk penafsiran melalui pemikiran atau ijtihad. Meskipun tafsir Bi al-ra’y
berkembang dengan pesat, namun dalam penerimaannya para ulama
terbagi menjadi dua, yaitu ada yang membolehkan ada pula yang melarangnya.
Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu
hanya bersifat lafzhi atau redaksional. Maksudnya kedua belah pihak sama-sama
mencela penafsiran berdasarkan ra’y (pemikiran) semata tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria yang berlaku.
Sebaliknya, keduannya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan
Sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang mu’tabarah (diakui sah secara
bersama). Dengan demikian jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir
sejak dulu sampai sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu Bi
al-ma’tsur yaitu melalui riwayat, dan Bi al-ra’y yaitu
melalui pemikiran atau ijtihad.
C. Pembagian
Metodologi Tafsir
Istilah tafsir
merujuk kepada Al-Qur’an Surat Al-Furqan 33:
wur y7tRqè?ù't
@@sVyJÎ/ wÎ)
y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/
z`|¡ômr&ur #·Å¡øÿs?
ÇÌÌÈ
Artinya: “ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa
sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu Sesuatu yang benar dan penjelasan
(tafsir) yang terbaik”. (QS. Alfurqan: 33)
Didalam kamus besar bahasa Indonesia, kata Tafsir
diartikan dengan keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi
tafsir Al-qur’an ialah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang
sukar dipahami dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Para ulama telah melakukan pembagian
tentang kitab-kitab karangan menyangkut Al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir.
Ada empat
macam metode tafsir, yaitu:
- Metode Ijmali (global)
Yang dimaksud dengan metode ijmali ialah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an
secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan
enak dibaca. Sistematika penulisannya mengikuti sususnan ayat-ayat dalam
mushaf. Disamping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan
pembaca mudah memahaminya.
a) Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan
Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola
serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam
metode analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir
lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya.
Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk
mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab tafsir ijmali
seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi
ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang
dibaca tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga
penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al-tafsir
Al-Wasith terbitan Majma’ Al-Buhus Al-islamiyyat, dan Tafsir Al-Jalain serta
Taj Al-Tafsir karangan Muhammad Ustman al-Mirgani, masuk kedalam kelompok ini.
b) Kelebihan Metode Ijmali
1.
Praktis dan mudah dipahami, tidak berbelit-belit,
pemahaman Al-Qur’an segera dapat diserap oleh pembacanya.
2.
Relatif lebih murni, dengan metode ini dapat dibendung
pemikiran-pemikiran yang kadang- kadang tidak sejalan dengan martabat
Al-Qur’an.
3.
Akrab dengan bahasa Al-qur’an,. Uraian yang dibuat
dalam tafsir ijmali terasa amat singkat dan padat, hal ini dikarenakan mufasir
langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan sinonimnya dan tidak
mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara pribadi.
c) Kekurangan Metode Ijmali
1) Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial,
Al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat
yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah. Dengan
menggabungkan kedua ayat itu, akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan
dapat terhindar dari kekeliruan.
2) Tak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
Tafsir yamg memakai metode ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan
uraian atau pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu ayat.
- Metode Tahlili (analitis)
Yang dimaksud dengan metode analitis ialah menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu sertamenerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai
dengan keahlian dan kecendrungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur’an, ayat demi
ayat, surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf. Perbedaan yang
mencolok antara tafsir tahlili dengan ijmali terutama dari sudut keluasan
wawasan yang dikemukakan dan kedalaman serta ketajaman analitis.
Karma itu, didalam tafsir tahlili si mufasir relative punya banyak
peluang untuk mengemukakan ide-ide dan gagasan-gagasan berdasarkan keahliannya
sesuai dengan pemahaman ayat. Yang menjadi ciri dalam metode analitis ini bukan
menafsirkan Al-Qur’an dari awal mushaf sampai akhirnya, melainkan terletak pada
pola pembahasan dan analisisnya. Artinya, selama pembahasan tidak mengikuti
pula perbandingan.
a)
Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan mufasir yang menggunakan metode tahlili
terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di
dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang
berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y. Dalam penafsiran
tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat
demi surat
secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari
ayat-ayat yang ditafsirkan.
b) Kelebihan Metode Tahlili
1.
Ruang lingkup yang luas. Contohnya saja ahli bahasa,
mendapat peluang yang luas untuk menafsikan Al-Qur’an dari pemahaman
kebahasaan, seperti tafsir Al-Nasafi karangan karangan Abu Al-Su’ud, Ahli
qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam
penafsirannya. Begitu pula ahli filsafat, sains dan teknologi.
2.
Memuat berbagai ide. Tafsir ini memberikan kesempatan
yang sangat luas kepada mufasir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
c) Kekurangan
Metode Tahlili
1.
Menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial. Karena
seakan-akan Al-Quran memberi pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten
karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang
diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya.
2.
Melahirkan penafsiran subjektif, karena bebas
mengeluarkan ide dalam penafsiran ini. Para
mufasir terkadang tidak sadar telah menafsirkan Al-Qur’an secara subjektif,
bahkan bisa jadi ada mereka yang menafsirkan Al-Qur’an dengan kemauan hawa
nafsunya.
- Metode Muqarin (komparative)
Yang dimaksud dengan metode komparative adalah:
a) Membandingkan teks ayat-ayat Al-qur’an yang memiliki
persamaan atau kemiripan dalam dua kasus atau lebih.
b) Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Al-Hadits yang pada
lahirnya bersifat bertentangan.
c) Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir M. Qurois
Sihab yang mengatakan:
“ Dalam metode ini khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat,
dan ayat dengan hadits biasanya mufasirnya menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan perbedaan kandungan yang dimaksut oleh masing-masing ayat atau perbedaan
masalah itu sendiri ”.
Dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga objek
kajian tafsir, yang meliputi:
1) Membandingkan Ayat Al-Qur’an Dengan Ayat
Al-Qur’an Yang Lain
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat
yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang
berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus
yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi
ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti
:
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah
: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS :
al-Baqarah : 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah
: Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS :
al-An’am : 71)
b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti:
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja
bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak
memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah :
6)
ﻭﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja
bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi
peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti:
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“…yang
membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab
(al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“…yang
membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada
mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte
noun), seperti:
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“…mohonkanlah
perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti:
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ
“…Kami
sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari
saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
f) Perbedaan
penggunaan huruf kata depan, seperti:
ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎﺍﺩﺧﻠﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻓﻜﻠﻮﺍ
Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanla.
(QS. Al-Baqarah: 58)
ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻭﻛﻠﻮﺍ
Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman: Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah.
(QS. Al-A’raf : 161)
g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti:
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﺃﻟﻔﻴﻨﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka
berkata: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati
(alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﻭﺟﺪﻧﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka
berkata: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati
(wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)
h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke
huruf lain), seperti:
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang
demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya,
barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang
demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya.
Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi
tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah :
·
Mencatat ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki
redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda,
·
Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan
persamaan dan perbedaan redaksinya,
·
Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan
menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan
·
Melakukan perbandingan.
D. Membandingkan Ayat
Dengan Hadits
Mufasir membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW yang
terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara
keduanya. Contoh perbedaan antara ayat Al-Qur’an surat An-Nahl: 32 dengan hadits riwayat
Tirmidzi:
ﺍﺩﺧﻠﻮﺍﺍﻟﺠﻨﺔﺑﻤﺎﻛﻨﺘﻢﺗﻌﻤﻠﻮﻥ
“Masuklah
kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
ﻟﻦﻳﺪﺧﻞﺃﺣﺪﻛﻢﺍﻟﺠﻨﺔﻳﻌﻤﻠﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Tidak
akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya”
(HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada
pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua
cara, yaitu :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu
bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena
ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena
menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan
dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal
perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :
ﺇﻥﺃﻫﻞﺍﻟﺠﻨﺔﺇﺫﺍﺩﺧﻠﻮﻫﺎﻧﺰﻟﻮﺍﻓﻴﻬﺎﺑﻔﻀﻞﻋﻤﻠﻬﻢ﴿ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Sesungguhnya
ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya
berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada
ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada
ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.
3) Membandingkan
Pendapat Para Mufasir
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun
ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul
(Al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (Al-tafsir
al-ra’yi).
Manfaat yang
dapat diambil dari metode tafsir ini adalah:
·
Membuktikan ketelitian al-Qur’an,
·
Membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat Al-Qur’an
yang kontradiktif,
·
Memperjelas makna ayat, dan
·
Tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas
sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang
lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di
antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu
pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
a) Kelebihan
Metode Muqarin
1.
Memberikan wawasan penafsiran yang relative lebih luas
kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain.
2.
Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap
pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak
mustahil ada yang kontradiktif.
3.
Tafsir dan metode komfaratif ini amat berguna bagi
mereka yang ingin mengetahuiberbagai pendapat tentang suatu ayat.
4.
Dengan metode ini mufasir didorong untuk mengaji
berbagai ayat dan hadits-hadits serta pendapat para mufasir yang lain.
b) Kekurangan
Metode Muqarin
1.
Penafsiran dengan metode ini tidak dapat diberikan
kepada para pemula seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah
menengah kebawah.
2.
Kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan
social yang tumbuh ditengah masyarakat.
3.
Terkesan banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang
pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.
4.
Metode Maudhu’i ( tematik )
Yang dimaksud dengan metode maudhu’i adalah membahas ayat-ayat Al-Qur’an
sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan
dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya. Seperti Asbab Al-Nuzul, kosa kata dan
sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil
atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argumen
itu berasal dari hadits, Al-Qur’an atau pemikiran rasional.
a) Ciri-ciri Metode Maudhu’i
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau
topik pembahasan, sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga
disebut metode topikal. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang
ada di tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari
yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan
menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang
termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang
diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak
terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y
al-Mahdh).
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar di
Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir
Al-Maudhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh
untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah:
1.
Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
2.
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut.
3.
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya (asbab
al-nuzul).
4.
Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya
masing-masing.
5.
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
6.
Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan
dengan pokok bahasan.
7.
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan
dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau
mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas
(khusus), mutlak dan muqayyad (terikat),
sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.
b) Kelebihan
Metode Maudhu’i
1.
Menjawab tantangan zaman. Permasalahan
dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan
kehidupan itu sendiri. Semakin modern kehidupan, permasalahan yang timbul semakin
kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas. Untuk menghadapi
permasalahan yang demikian, dilihat dari sudut tafsir Al-Qur’an, tidak dapat
ditamgani dengan metode-metode penafsiran selain metode tematik.
2.
Praktis dan sistematis. Tafsir ini disusun secara
praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Dengan adanya
tematik mereka akan mendapatkan petunjuk Al-Qur’an secara praktis dan
sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efesien.
3.
Dinamis. Metode ini membuat tafsir Al-Qur’an selalu
dinamis sesuai dengan tuntunan zaman.
4.
Membuat pemahaman menjadi utuh. Dengan ditetapkan
judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dapat diserap
secara utuh.
c) Kekurangan
Metode Maudhu’i
1.
Memenggal ayat Al-Qur’an. Memenggal ayat Al-Qur’an yang
dimaksud adalah mengambil satu kasus yamg terdapat didalam satu ayat atau lebih
yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda.
2.
Membatasi pemahaman ayat. Dengan penetapan judul
penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Secara garis besarnya ada empat cara (metode)
penafsiran al-Qur’an yang dipakai sejak dahulu sampai sekarang, yaitu: Metode Ijmaliy (global), Metode
Tahliliy (analistis), Metode Muqaran (perbandingan), dan
Metode Maudhu’i (tematik).
2.
Dalam penafsiran al-Qur’an ada dua bentuk yang selama
ini dipakai (diterapkan) oleh para ulama, yaitu: Al-Tafsir Bi al-Ma’tsur (Riwayat), dan Al-Tafsir Bi al-Ra’y (Pemikiran).
3.
Yang paling populer dari keempat metode penafsiran, menurut
Dr. Quraish Shihab adalah metode tahliliy
(analistis), dan metode maudhu’i (tematik) namun disamping
populer menurut para ulama tafsir, metode ini memiliki kelemahan-kelemahan
disamping memiliki kelebihan.
4.
Ada
dua jenis pembatasan dalam tafsir al-Qur’an, yaitu: menyangkut Dilihat dari
segi usianya, penafsiran al- Qur’an termasuk yang paling tua dibandingkan
dengan kegiatan ilmiah lainnya dalam islam. Pada saat al- Qur’an diturunkan,
Rasullullah SAW. Yang befungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelas) telah
menjelaskan arti dan kandungan Qur’an kepada sahabat-sahabatnya, khususnya
menyangkut ayat- ayat yang tidak dipahami atau sama artinya, dan keadaan ini
berlangsung sampai wafatnya Rasulullah.
5.
Kalau pada masa Rasul SAW. Para
sahabat menanyakan persoalan- persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka
setelah wafatnya, mereka terpksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang
mempunyai kemampuan seperti Ali Bin Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan
Ibn Mas’udmateri ayat-ayat dan menyangkut syarat-syarat penafsiran.
B. Saran
1. Al-Quran
dan As-Sunnah merupakan sumber rujukan hukum dalam Islam, yang mana dari
keduanya pasti ada yang membuat bingung dalam memahami apa maksud dari sebagian
ayat tersebut, oleh karena itu ilmu tafsir berguna untuk mengetahui apa yang
tersirat dalam ayat, maka kita harus memahami dengan benar ilmu tafsir tersebut
sebelum menafsirkan ayat-ayat, sehingga terhindar dari menafsirkan ayat yang
asal-asalan.
2. Apa
dan bagaimanapun bentuk suatu metodologi, ia tetap merupakan hasil ijtihad,
yakni hasil olah pikir manusia. Manusia, meskipun dikaruniai kepintaran tetap
mempunyai kelemahan dan keterbatasan, yang tidak bisa mereka hindarkan seperti
sifat lupa, lalai dan sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mardan, Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh, ( Jakarta: Pustaka Mapan ),
2009.
Mahmud,
Ali. 2006. Metodologi Tafsir. (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada)
http://lyalinawati.blogspot.com/2012/01/metodologi-studi-islam.html